Maaf sebagian besar dan bahkan seluruh posting di blog saya ini masih banyak meng-copy dari artikel-artikel beberapa ulama, karena saya khawatir apa yang saya sampaikan salah.

Jumat, 15 Januari 2010

Aqidah Sebagai Landasan Pembangunan Sistem Ilahi

Oleh: Musthofa 'Aini, Lc. *)

Dienul-Islam, karena kedudukannya sebagai manhaj ilahi bagi manusia, maka selayaknyalah bila ajarannya menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat matriil maupun spirirual sesuai dengan unsur ciptaan manusia itu sendiri yang terdiri dari unsur materi dan unsur immateri (unsur tanah dan unsur ruh : Q.S. Al-Sajdah :7-9). Ia meliputi dua dimensi, yang dari keduanya lahir sendi-sendi yang lain dan bersumber dari padanya. Dua diminsi itu ialah : Dasar-dasar aqidah atau pundamental Dienul Islam, dan yang kedua, yaitu sistem yang lahir dari Aqidah tersebut, berdiri dan dibangun di atasnya dan memberikan cermianan yang nyata bagi Aqidah di dalam kehidupan real manuusia. Dimensi ini dikenal dengan Syari`ah.

Aqidah, secara umum bermakna sebagai berikut:

" Ia merupakan keyakinan dan pendirian yang kokoh sesuai dengan realita, tidak ada keraguan sedikitpun padanya. Selagi pengetahuan belum mencapai pada derajat keyakinan yang pasti, maka tidak dapat disebut Aqidah."

Aqidah juga disebut Tashawwur, juga idiologi, pandangan hidup, dan pendirian hidup. Oleh karena itu aqidah berperan sebagai penentu dan pembatas jalan hidup bagi orang yang meyakininya. Aqidahlah yang memberikan penjelasan terhadap rahasia keberadaan manusia di dunia ini, tujuan yang seharusnya ia capai, dan menjelaskan asal-usul kejadiannya, dan seterusnya.

Atau dengan ungkapan lain, Aqidah memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Siapa anda wahai manusia?

2. Siapa yang menjadikan anda?

3. Kenapa dan untuk apa anda diciptakan di dalam kehidupan ini?

4. Kemana anda setelah kehidupan ini?

5. Apa hubunganmu dengan alam di mana kamu hidup? Lalu apa hubungan anda dengan Pencipta semesta alam ini?

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan sikap hidup bahkan jalan hidup yang akan ditempuh oleh manusia selama hidupnya di muka bumi ini, dan di dalam ruang lingkup jawaban-jawaban itu pulalah ia bergerak. Oleh karena aqidah mempunyai peran penentu dalam membentuk kepribadian manusia, maka dari itulah Rasulullah saw. mengawali da`wahnya dengan menyerukan kepada pandangan hidup baru, yaitu aqidah Islam. Bahkan perjuangan beliau di dalam menegakkan Islam selalu dititik beratkan dan selalu dikaitkan dengan masalah ini.

Perhatian Rasulullah saw. kepada Aqidah, baik ketika beliau masih berada di Mekkah maupun ketika beliau berada di Madinah adalah sangat besar, bahkan semenjak al-Qur'an di turunkan hingga rampung dalam tiga belas tahun, selama itu pula al-Qur'an selalu menghubungkan permasalahan hukum dan akhlaq dengan aqidah. Perhatian beliau terhadap masalah aqidah ini pula tampak bahwa beliau tidak pernah mengenal kompromi dalam masalah-masalah yang sangat erat hubungannya dengan aqidah. Sebagai contoh adalah bahwa ketika orang-orang kafir Mekkah sudah kehabisan cara di dalam membendung arus da`wah Rasulullah saw. yang kian makin merambat ke berbagai kalangan masyarakat, mereka menawarkan tiga hal, yaitu tahta (kekuasaan), wanita dan harta asalkan Rasulullah saw. mau mininggalkan aktifitas da`wahnya menanamkan pandangan hidup baru (aqidah Islam).

Yang menarik dari peristiwa tersebut dan harus dijadikan sebagai bahan renungan oleh setiap orang yang mempunyai keinginan keras untuk menegakkan Islam sebagai the way of life adalah bahwa Rasulullah saw. menolak semua tawaran tersebut. Dan yang harus kita jadikan bahan pertanyaan yang adalah kenapa Rasulullah menolak semua tawaran tersebut, padahal diantara yang ditawarkan adalah kekuasaan? Tidakkah Rasulullah saw. dapat menegakkan syari`at Islam jika menerima tawaran kekauasaan? Kenapa Raslullah saw. menolak tawaran kekauasaan yang ditawarkan? Tidakkah jika Rasulullah saw. menjadi penguasa dapat menegakkan Islam melalui kekuasaannya?

Sesungguhnya peristiwa bersejarah tersebut harus dijadikan sebagain bahan i`tibar oleh setiap muslim yang berambisi untuk menegakkan Islam sebagai sistem pemerintahan atau the way of life, yang dengan semangat menggebu-gebu ia bertarung di pentas politik untuk menegakkan Islam. Dan pula harus menyadari bahwa dirinya adalah penerus dan pewaris perjuangan Rasulullah saw. di dalam menegakkan Islam, dan sekali-kali bukan orang pertama atau berdiri sendiri.

Rasulullah saw. menolak semua tawaran tersebut, karena beliau faham betul bahwa Islam adalah sistem ilahi yang komprehensip dan itegral untuk seluruh umat manusia, tidak dapat ditegakkan secara paksa melainkan melalui penanaman landasan ajarannya (aqidah Islam) kepada setiap orang yang diharapkan dapat menegakkan ajaran-ajarannya (syari`ah).

Sistem yang tidak disukai apabila dipaksakan melalui kekuasaan pasti akan melahirkan disintegrasi bangsa atau uamat, akan melahirkan gerakan anti terhadap sistem tersebut yang berupaya secara lambat laun untuk menghapus sistem yang tidak mereka suka, sebagaimana ketika orde baru memaksakan idiologi asas tunggal sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, dimana anak-anak bangsa dipaksa untuk menerimanya, padahal hati kecil mereka bersebrangan. Tidakkah yang terjadi jauh dari apa yang dicita-citakan oleh pemerkasa azal tunggal tersebut? Tidakkkah disintegrasi selalu membayangi kehidupan bangsa Indonesia saat ini merupakan cerminan dari ketidak sukaan mereka terhadap idiologi dan sistem yang dipaksakan?!

Dari itulah Rasulullah saw. menolak semua tawaran, bahkan tawaran kekuasaan sekalipun! Beliau malah meneruskan da`wahnya mensosialisasikan aqidah Islam tanpa mengenal kompromi. Yang harus pula kita jadikan pelajaran di dalam sejarah perjuangan Rasulullah saw. selama 13 tahun di Mekkah adalah bahwa sistem kehidupan Islam pada saat itu (ekonumi, politik, sosial dan lain-lainnya)belum diajarkan, karena asasnya belum tertanam kokoh di dalam hati dan belum diterima oleh suatu komunitas masyarakat luas.

Dari sini kita mengetahui urgensi Aqidah Islam dan menjadikannya sebagai lamngkah awal di dalam membangun suatu bangsa berdasarkan sistem ilahi.

*) Alumni Univ. Islam Madinah & Mahasiswa Pasca Sarjana di Univ. Muhammadiyah Jakarta

Wallahu A`lam.

Referensi :

- Madkhal lidirasatil `aqidah al-Islamiyah, karya Dr. Utsman Jum`ah Dlumairiyah.

- Laa ilaha illallah : aqidah wa syari`ah wa manhaju hayat, karya Muhammad Qutb.

- Syarah Aqidah Wasithiyah, oleh Ibnu Utsaimin.

- Beberapa buku Sirah Nabawiyah.
Tags:
READ MORE - Aqidah Sebagai Landasan Pembangunan Sistem Ilahi
READ MORE - Aqidah Sebagai Landasan Pembangunan Sistem Ilahi
READ MORE - Aqidah Sebagai Landasan Pembangunan Sistem Ilahi

AQIDAH ISLAMIYAH


Oleh : Farid Achmad Okbah


"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69)

Pendahuluan

Nilai suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor Doktor, pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?
Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk / ciptaan lainnya.

Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari di At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179).

Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139)) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul. Namun ada yang menerima disebut mu'min ada pula yang menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.

Begitu pentingnya Aqidah ini sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akherat. Dialah kunci menuju surga.


Pengertian Aqidah

Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan.

Aqidah menurut terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan kepada takdir Allah baik dan buruknya. Ini disebut Rukun Iman.

Dalam syariat Islam terdiri dua pokok utama.


Pertama : Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas.

Kedua : Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atau diterima atau tidaknya bergantung yang pertama.

Makanya syarat diterimanya ibadah itu ada dua,

Pertama : Ikhlas karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah yang benar.

Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ini disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW tertolak atau mengikuti Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia, umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi dua kriteria itu. Inilah makna yang terkandung dalam Al-Qur'an surah Al-Kahfi 110 yang artinya : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya."


Perkembangan Aqidah

Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau.

Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"


Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash.

Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya mereka.

Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW.

Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.


Bahaya Penyimpangan Pada Aqidah

Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti.

Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :


1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.


2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."


3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.


4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan.

Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."


5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.


6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari).


Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.


7. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.


Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya :

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."


Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."


Faedah Mempelajari Aqidah Islamiyah


Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya. Makanya seorang mu'min harus yakin kebenaran Aqidah Islamiyah sebagai poros dari segala pola laku dan tindakannya yang akan menjamin kebahagiannya dunia akherat. Dan merupakan keserasian antara ruh dan jasad, antara siang dan malam, antara bumi dan langit dan antara ibadah dan adat serta antara dunia dan akherat.

Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah Islamiyah adalah :


1. Membebaskan dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.


2. Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun duka.


3. Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah (outer focus of control).


4. Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridho terhadap segala ketentuan Allah.


5. Aqidah Islamiyah adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara miskin dan kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi Allah SWT.

Tags:
READ MORE - AQIDAH ISLAMIYAH
READ MORE - AQIDAH ISLAMIYAH
READ MORE - AQIDAH ISLAMIYAH

AQIDAH DAN KEIMANAN


Oleh : Dr. Yusuf Qordhowi

Sesungguhnya asas pertama kali yang tegak diatasnya masyarakat Islam adalah aqidah, itulah aqidah Islam. Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara aqidah, menjaga dan memperkuat serta memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia.

Aqidah Islam ada pada keimanan kita kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari kemudian, sebagaimana firman Allah SWT:

"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kõtab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan:)"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, " dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat," (Mereka berdo'a:) "Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Al Baqarah: 285)

Aqidah Islam itu membangun bukan merusak, mempersatukan bukan memecah belah, karena aqidah ini tegak di atas warisan ilahiyah seluruhnya. Dan di atas keimanan kepada para utusan Allah seluruhnya "Laa Nufarriqu Baina Ahadin Min Rusulihi."

Aqidah tersebut diringkas dan dimampatkan dalam syahadatain (dua kalimat syahadat) yaitu: "Syahaadatu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan Rasuulullaah." Aqidah inilah yang mempengaruhi pandangan kaum Muslimin terhadap alam semesta dan penciptannya, terhadap alam metafisika, kehidupan ini dan kehidupan setelahnya, terhadap alam yang terlihat dan yang tidak terlihat, terhadap makhluq dan khaliq, dunia dan akhirat, dan terhadap alam yang nampak dan alam gaib (yang tidak kelihatan).

Alam ini dengan bumi dan langitnya, benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhannya, hewan dan manusianya, jin dan malaikatnya ..., kesemuanya tidak diciptakan tanpa makna, dan tidak diciptakan dengan sendirinya. Harus ada yang menciptakan, yakni Dia yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Dia yang telah menciptakan alam ini dengan sempurna, dan telah menentukan segala sesuatu di dalamnya dengan ketentuan yang pasti. Maka setiap benda yang terkecil sekali pun itu ada standarnya, dan setiap gerakan pasti ada ukuran dan perhitungannya. Pencipta itu adalah Allah SWT yang setiap kata, bahkan setiap huruf dalam alam ini membuktikan atas kehendak, kekuasaan, ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Allah SWT berfirman:

"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (Al Isra': 44)

Pencipta Yang Maha Agung itulah Rabbnya langit dan bumi, Rabbnya alam semesta dan Rabbnya segala sesuatu, Dia Satu dan Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Hanya Dialah yang qadim dan azali, hanya Dialah yang tegak selama-lamanya, hanya Dialah yang menciptakan, yang menyempurnakan dan yang memberi rupa (bentuk). Hanya Dialah yang memiliki asmaul husna dan sifaatul 'ula, tidak ada sekutu dan tidak ada perlawanan bagi-Nya, tidak ada anak dan tidak ada bapak bagi-Nya, tidak ada yang mirip atau yang menyamaiNya. Allah swt berfirman:

"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlas: 1-4)

"Dia-lah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Hadid: 3)

"Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)

Segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, baik yang atas dan yang bawah, yang diam dan yang bisa berbicara membuktikan adanya akal yang satu, Dia-lah yang mengatur segalanya. Membuktikan pula adanya tangan yang satu, Dialah yang mengatur penjuru alam dan mengarahkannya. Jika tidak demikian, maka akan rusaklah alam semesta ini, lepas kendalinya, goncang standarnya dan runtuh bangunannya sebagai akibat dari banyaknya akal yang mengatur dan banyaknya tangan yang menggerakkan. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:

"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan." (Al Anbiya': 22)

"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Al Mukminun: 91)

"Katakanlah: "Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." (Al Isra': 42-43)

Suatu hakikat yang tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya seluruh makhluq yang ada di langit dan yang di bumi semuanya kepunyaan Allah, dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi semuanya milik Allah. Maka tidak ada seorang pun atau sesuatu pun dari yang berakal maupun yang tidak berakal menyamai Allah dan tidak pula Dia mempunyai putra. Sebagaimana yang dikatakan oleh penyembah berhala dan yang serupa dengan mereka, Al Qur'an menggambarkan sebagai berikut:

"Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak." Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya. "Jadilah!" Lalu jadilah ia." (Al Baqarah: 116-11)

Barangsiapa yang tersesat dari hakekat ini di dunia maka niscaya akan terungkap di akhirat kelak, dia akan melihat kenyataan itu seakan telanjang. Jelas dan terang seperti terangnya matahari di waktu dhuha. Allah swt berfirman:

"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri." (Maryam: 93-95)

Maka tidak heran (bukan suatu hal yang aneh) setelah itu semua, jika Allah Sang Pencipta Yang Agung, Tuhan yang Maha Tinggi, hanya Dialah yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Dengan lain perkataan, "Dia berhak sangat dipatuhi dan sangat dicintai, dan makna yang terkandung dalam ketundukan dan cinta yang sangat, itulah yang kita namakan "Ibadah"

Inilah makna "Laa ilaaha illallaah," artinya tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah atau tidak sesuatu pun berhak untuk menerima ketundukan dan cinta selain Allah. Hanya Dia-lah yang pantas untuk tunduk semua makhluk terhadap perintah-Nya, sujud di hadapan-Nya dan bertasbih dengan memuji-Nya serta mau menerima hukum-Nya.

Hanya Dia yang pantas untuk dicintai dengan segala makna cinta, Dia-lah yang mutlak kesempurnaan-Nya dan sesuatu yang sempurna itu pantas untuk dicintai. Dia-lah sumber segala keindahan, dan segala keindahan yang ada dalam kehidupan ini diambil dari pada-Nya, dan keindahan itu wajar kalau dicintai dan dicintai pula pemiliknya. Dia-lah yang memberi seluruh kenikmatan dan sumber segala kebaikan. Allah SWT berfirman:

"Dan apa saya nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan." (An-Nahl: 53)

Oleh karena itu kebaikan akan selamanya disenangi dan nikmat akan selamanya dicintai dan dicintai pula pemiliknya.

Makna "Laa ilaaha illallaah" adalah membuang ketundukan dan penghambaan kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah dan hukum selain hukum-Nya dan perintah selain perintah-Nya. Ia juga berarti menolak segala bentuk loyalitas selain loyalitas kepada-Nya dan menolak segala bentuk cinta selain cinta kepada-Nya dan cinta karena-Nya.

Untuk memperjelas makna tersebut, maka kami katakan bahwa sesungguhnya unsur (komponen) tauhid sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an ada tiga yaitu dalam surat Al An'am --surat yang memperhatikan ushulut-tauhid (prinsip-prinsip ketauhidan)-- sebagai berikut:

Pertama, hendaknya kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah. Allah berfirman:

"Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal. Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu ..." (Al An'am: 164)

Kedua, hendaknya kamu tidak mencari wali (penolong) kepada selain Allah. Allah berfirman:

"Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan ...." (Al An'am: 14)

Ketiga, hendaknya kamu tidak mencari hakim selain daripada Allah. Allah berfirman:

"Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?" (Al An'am: 114)

Makna unsur yang pertama --"Hendaklah kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah"-- adalah menolak seluruh tuhan-tuhan palsu yang disembah oleh manusia, baik di zaman dahulu atau sekarang ini, baik di timur atau di barat, baik dari batu, pohon-pohonan, perak dan emas, ataupun mata hari dan bulan atau dari golongan jin dan manusia. Ia juga berarti menolak seluruh tuhan-tuhan selain Allah sekaligus mengumumkan revolusi untuk melawan orang-orang di bumi yang mengaku tuhan dan bersikap sombong tanpa dasar yang benar, yaitu mereka yang ingin memperbudak hamba-hamba Allah.

"Laa ilaaha illallaah" adalah deklarasi untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Allah, sebagai penciptannya. Maka tidak boleh bersujud, tunduk dan khusyu' kecuali kepada Allah Pencipta langit dan bumi.

Oleh karena itu Nabi SAW mengakhiri surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan penguasa serta para kaisar dari kaum nasrani ayat berikut ini:

"Katakanlah: "Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menyadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali 'Imran: 64)

Kata-kata "Rabbunallah" adalah berfungsi sebagai pengumuman tentang pembangkangan dan penolakan terhadap segala kediktatoran di bumi ini.

Karena itulah Nabi Musa AS menghadapi ancaman pembunuhan, dan pada saat itu ada seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir'aun yang membela, seraya berkata, sebagaimana dikisahkan oleh Al Quran:

"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah." padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu ..." (Al Mukmin (Ghafir): 28)

Karena itu pula Nabi kita Muhammad SAW dan para sahabatnya juga menghadapi tekanan, siksa dan pengusiran dari tanah air dan perampasan harta, sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an:

"(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah" ...." (Al Hajj: 40)

Makna unsur yang kedua "Hendaklah kamu tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (pendukung)" adalah menolak (tidak memberikan) wala' atau loyalitasnya kepada selain Allah dan golongannya, karena bukanlah tauhid itu suatu pengakuan bahwa Tuhannya adalah Allah, tetapi pada saat yang sama dia memberikan wala', kecintaan dan dukungannya kepada selain Allah, bahkan kepada musuh-musuh-Nya. Allah swt berfirman:

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscsya lepaslah ia dari pertolongan Allah ..." (Ali 'Imran: 28)

Sesungguhnya hakikat tauhid bagi orang yang beriman bahwa sesungguhnya Tuhannya adalah Allah. Hendaknya ia memurnikan ketaatan kepada-Nya dan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang" (Al Maidah, 55-56)

Dari sinilah Al Qur'an menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang musyrik bahwa mereka itu telah membagi-bagi hati mereka antara Allah SWT dengan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah yaitu dari berhala-berhala dan patung-patung. Mereka telah memberikan kecintaan dan wala' mereka kepada tuhan-tuhan itu sebagaimana mereka memberikannya kepada Allah. Allah SWT berfirman:

"Dan sebagian manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah ..." (Al Baqarah: 165)

Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima syarikah (persekutuan) dalam hati para hamba-Nya yang beriman, maka tidak boleh sebagian hati kita, kita berikan kepada Allah, kemudian sebagian yang lain lagi untuk Thaghut. Tidak boleh kita memberikan sebagian wala'nya kepada Al Khaliq (pencipta) dan sebagiannya lagi kepada makhluk. Sesungguhnya seluruh wala' dan seluruh tumpuan hati hendaknya wajib diberikannya kepada Allah, yang memiliki seluruh makhluk-Nya dan seluruh perkara yang ada. Inilah perbedaan antara mukmin dan musyrik. Orang mukmin itu menyerahkan (dirinya) kepada Allah, memurnikan 'ubudiyahnya kepada Allah, sedangkan orang musyrik itu memilah-milah antara Allah dan selain Allah. Allah SWT berfirman:

"Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Az-Zumar: 29)

Makna unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak mencari hakim kepada selain Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain sistem yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain syari'at Allah dan setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan nilai yang tidak diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit dari semua itu baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah berarti dia telah mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur tauhid, karena ia telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri' itu termasuk hak Allah saja. Allah SWT berfirman:

"Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 40)

Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid rububbiyah dan uluhiyah Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan seseorang dari hamba Allah sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia memerintahkan dan melarang sesuai dengan kemauannya, menghalalkan dan mengharamkan semaunya serta memberikannya hak ketaatan dalam hal itu, meskipun ia menghalalkan yang haram, seperti zina, riba, khamr, dan judi, kemudian juga mengharamkan yang halal seperti thalaq (mencerai) dan berpoligami. Dan juga menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf dan nahi munkar, dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya. Barangsiapa yang menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang dijelaskan di dalam Al Qur'an dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut:

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31)

Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan orang-orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud kepada mereka dan tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap berhala?

Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani kemudian datang ke Madinah dan orang-orang membicarakan tentang kedatangannya. Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum wa ruhbaanaham arbaaban min duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya, mereka itu telah mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan menghalalkan kepada mereka yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti mereka, maka itulah ibadah mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi)

Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah mengikuti para rahib itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan haramkan."

As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti para ulama mereka, pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang punggung mereka, untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at maka harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada ilah (Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan."

Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari kedua kalimat syahadah, yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang konsekuensinya adalah: tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim, sebagaimana diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih dan yang muhkamat.

Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang berfungsi sebagai syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan Rasulullah." Karena sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai Ilah dan Rabb itu tidak cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua, yaitu bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam setiap kurun waktu para penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk, membimbing dan mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT berfirman:

"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah sesudah diutusnnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisaa': 165)

Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam masyarakat serta memberi petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan itu sebagai pedoman apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya apabila terjadi saling bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan kerusakan. Allah swt berfirman:

"Sesungguhzya Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)

Inilah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang terpelihara. Dan "Al Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal dan keutamaan manusiawi yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.

Kalau bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya untuk memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.

Utusan yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang menyampaikan perintah, hukum dan syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari mana asal kita dan hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita, mengenal halal dan haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak tahu jalan, Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al Maaidah: 15-16)

Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di mana akan dimintai pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia perbuat, dan akan dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat buruk, akan dibalas sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibalas dengan kebaikan pula.

Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8)

Melalui Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at (suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula yang memperbaiki. Allah SWT berfirman .

"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14)

Untuk itulah maka kalimat "Muhammadan Rasulullah" adalah penyempurna dari kalimat "Laaa ilaaha illallaah" yang artinya tiada yang berhak disembah selain Allah, sedangkan arti berikutnya adalah, tidak sah untuk menyembah Allah kecuali dengan syari'at dan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya.

Tidak heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT:

"Barangsiapa taat kepada Rasul maka taat kepada Allah." (An-Nisaa':80)

Dan ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu tanda kecintaan kita kepada Allah SWT:

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali 'Imran: 3)

Ridha terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak termasuk golongan orang-orang yang beriman orang yang menolak hukum atau perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap Al Qur'an, karena Allah SWT telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia apa (kitab) yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak dikatakan beriman orang yang berhukum kepada selain dari Rasulullah SAW atau orang yang menolak hukumnya atau ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT berfirman:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab: 36)

Allah SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya:

"Dan mereka berkata: 'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).' Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (An-Nuur: 51)

Allah SWT juga menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah SAW dan rela untuk menerima keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah orang-orang Yahudi:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan berrnaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65)

Inilah sikap orang-orang yang beriman terhadap Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya, sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu sedikit pun dalam menerima hukum atau menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak memilih alternatif lainnya dan mereka tidak meninggalkan ketundukan dan ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh orang-orang munafik, bahkan prinsip dan semboyan mereka adalah "Sami'naa wa Atha'naa."

Sikap tersebut berbeda dengan sikap orang-orang munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya disebut "Thaghut," oleh karena itu Allah SWT berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila thaaghuut" itu membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.

Al Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang sifat-sifat orangorang munafik dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61)

Al Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan menyerah terhadap hukum tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya:

"Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)

Barangsiapa berpaling dari semua seruan ini dan menutup kedua telinganya dari ayat-ayat tersebut, malah sebaliknya menerima aturan-aturan, perundang-undangan, sistem dan tradisi dari selain jalan Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para filosof, baik dari timur atau barat, ulama atau umara atau apa pun namanya, berarti ia telah menentang Allah SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan telah mengumumkan permusuhan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Barangsiapa yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al Maaidah: 44)

"Barangsiapa tidak berhutum pada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)

"Barangsiapa tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Al Maadiah: 47)

Penggunaan kata-kata tersebut (Kaafiruun, zhaalimuun, dan Faasiquun) di dalam Al Qur'an Al Karim menunjukkan bahwa maknanya berdekatan. Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang kafir mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 254)

"Barangsuapa yang kufur setelah demikian itu maka mereka adalah orangorang yang fasik." (An-Nuur: 55)

"Tidak ada yang menentang ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang kafir." (Al Ankabut: 47)

Oleh karena itu A1 Qur'an menjadikan kefasikan itu sebagai perlawanan terhadap keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SW:

"Seburuk-buruk nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman." (Al Hujuraat: 11)

"Apakah orang mukmin itu sama dengan orang yang fasik, mereka tidaklah sama." (As-Sajadah: 18)

Al Qur'an juga menceritakan tentang Iblis ketika menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, sebagaimana firman Allah SWT:

"Ia membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Al Baqarah: 34)

"Dia (iblis) adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik dan perintah Rabb-Nya." (Al Kahfi: 50)

Maka orang yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah berarti dia kafir, zhalim atau fasik atau mengumpulkan sifat-sifat ini kesemuanya. Terutama apabila ia meyakini bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu mengakibatkan jumud (beku), terbelakang dan menjadi mundur, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia itulah yang membawa perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial dan peningkatan tarap hidup.

Termasuk penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan yang nyata terhadap konsepsi pemikiran manusia jika ada yang mengatakan, "Bahwa sesungguhnya ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani." Dan orang yang berkata ini lupa atau pura-pura lupa bahwa ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada kaum tertentu, tetapi kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya meliputi seluruh manusia yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan kaidah yang ditetapkan oleh para mufassirin, bahwa"Ibrah diambil dari umumnya lafadz, bukan sebab yang khusus." Dan mustahil jika Allah mencela Ahlul Kitab yang pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena mereka telah menolak membuang hukum Allah di belakang mereka dan tidak mau berhukum pada hukum Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum Muslimin saat ini. Atau juga kepada Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan Kitab Allah menjadi terbengkalai (terabaikan, sementara sebagian yang lain telah menjadikannya sebagai minhaj (sistem) dan dustur (undang-undang) hidup mereka.

Apa faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau bukan memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar jangan berbuat seperti mereka dan berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga mereka dicela seperti Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Thaha: 81)

Mengapa Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab dan mengutus kepada mereka seorang Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab itu dan menentang Rasul? Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu." (An-Nisaa': 105)

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah." (An-Nisaa': 64)

Oleh karena itu Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat di atas sebagai berikut:

"Dan Kami telah turunkan kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa yangAllah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maaidah: 48)

Kemudian Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya sebagai berikut:

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnnya kebanyakan munusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (A1 Maaidah: 49-50)

Dengan demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua hukum, dan tidak ada ketiganya, yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum Allah atau hukum Thaghut. Maka hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya, dan hendaklah setiap kaum memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam) atau hukum Thaghut (hukum jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari keduanya.

Adapun orang-orang yang beriman maka tidak ada alternatif bagi mereka, mereka selalu siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu siap bersama Islam' mereka senantiasa dalam peperangan dengan Thaghut dan hukum jahiliyah. Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa 'atha'naa."

Sedangkan orang-orang yang kafir, mereka itu selamanya berada di jalan Thaghut, mereka selamanya dalam keadaan ragu, mereka berada dalam kubangan jahiliyah. Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut, mengelaarkan mereka dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah penghuni neraka, mereka di dalamnya kekal selama-lamanya." (Al Baqarah: 257)

Di sini ada dua catatan penting' yaitu sebagai berikut:

Pertama: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah itu merupakan suatu kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang menentang, ungkapan itu sama dengan istilah yang berkembang saat ini"Hakimiyah adalah kepunyaan Allah." Yang berarti Allah-lah yang mempunyai hak (wewenang) secara mutlak untuk membuat suatu aturan hidup, berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, yang berhak menentukan dan memberikan beban terhadap seluruh makhluk-Nya.

Sebagian orang salah memahami bahwa prinsip ini katanya berasal dari penemuan Al Maududi di Pakistan atau Sayyid Quthub di Mesir, padahal kenyataannya pemikiran (konsep) ini diambil dari ilmu"Ushul Fiqih Islami," dan ulama ushul memuat pembahasan ini dalam bab"Hukum" yang masuk dalam muqaddimah ilmu ushul, dan di dalam tema tentang"Al Hakim." Siapakah dia, mereka semuanya bersepakat bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu hukum) adalah Allah, artinya Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam mengatur makhluk-Nya, sampai golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah kitab"Musallamus Tsubuut," salah satu kitab ushul yang terkenal.

Dalil-dalil atas ketetapan prinsip ini baik dari Al Qur'an maupun Sunnah jelas dan nyata yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam menjelaskan kewajiban berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah.

Kedua: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT itu tidak akan menghilangkan peran manusia, karena manusia itulah yang memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya dan meng-istimbath (menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu' kemudian memenuhi yang kosong dalam hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami katakan dengan istilah"Min Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana syari' (Allah SWT) sengaja tidak membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang) Allah kepada kita, bukan karena lupa. Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa mencapai dan berijtihad dalam pancaran nash-nash dan kaidah-kaidah ushul.



Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh) oleh Dr. Yusuf Qardhawi Cetakan Pertama Januari 1997 Citra Islami Press Jl. Kol. Sutarto 88 (lama) Telp.(0271) 632990 Solo 57126



Tags:
READ MORE - AQIDAH DAN KEIMANAN
READ MORE - AQIDAH DAN KEIMANAN
READ MORE - AQIDAH DAN KEIMANAN

Bagaimana Cara Bersyukur


OLEH: QURAISH SHIHAB
Syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian banyak aspek. Berikut akan dikemukakan sebagian di antaranya


a. Syukur dengan hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (Baca kisahnya dalam surat Al-Qashash (28): 76-82).
Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetaka pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari sini syukur --seperti makna yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip di atas-- diartikan oleh orang yang bersyukur dengan "untung" (merasa lega, karena yang dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).
Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah.
Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya dengan keadaan orang yang sujud. (Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan di hadapan si penderita itu).
Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki --seperti melakukan sujud dalam shalat. Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu bukan bagian dan shalat, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud sah walaupun dilakukan tanpa berwudhu, karena sujud dapat dilakukan sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun tentunya akan sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudhu.
b. Syukur dengan lidah
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi "al-hamdulillah."
Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Kata "al" pada "al-hamdulillah" oleh pakar-pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan". Sehingga kata "al-hamdu" yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah Swt., bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.
Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu berarti pada saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT, sebab kecantikan dan kebaikan itu bersumber dari Allah. Di sisi lain kalau pada akhirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai "kurang baik", maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dengan lidah adalah "al- hamdulillah" (segala puji bagi Allah).

c. Syukur dengan perbuatan
Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan,
"Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur!" (QS. Saba [34]: 13).
Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya.
Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah. Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh Allah SWT. Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan penciptaannya melalui firman-Nya:
"Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur" (QS. An-Nahl [16]: 14).
Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat "mencari karunia-Nya".
Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,
"Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)" (QS. Ibrahim [14]: 7)
Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia?
Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa "Kalau kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih."
Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS. Ibrahim [14): 7) Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak bersyukur (QS. Ibrahim [14]: 7).
Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut.
"Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah (yang terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan" (QS. An-Nahl [16]: 112).
Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum Saba --satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, yaitu Ratu Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya, melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya.
Negeri merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang, komunikasi dan transportasi antar-kota-kotanya yang tadinya lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah bibir orang saja. Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks keadaan mereka, Allah berfirman,
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada orang-orang yang kufur(QS. Saba [34]: 17).
Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer:
"Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih" (QS. Ibrahim [14]: 7).


READ MORE - Bagaimana Cara Bersyukur
READ MORE - Bagaimana Cara Bersyukur
READ MORE - Bagaimana Cara Bersyukur